November 8, 2020

Surabaya 10 Nopember

Sudah sekian lama kita membaca mengenai sejarah peristiwa 10 November 1945 yang heroik dan legendaris itu, tapi siapa menduga ada cerita-cerita lain yang tidak kalah menariknya di balik peristiwa itu. Silahkan dinikmati untuk memperkaya wawasan kita :

Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 tidak segera disambut dengan perubahan keadaan di Surabaya.

Kekuasaan Balatentera Jepang masih terlihat begitu menakutkan.

Rakyat Surabaya yang terlihat berjalan di jalan-jalan tengah kota masih seperti sedia kala, yaitu tidak bersemangat, tunduk karena ketakutan, dan tampak miskin akibat dijajah Jepang tiga setengah tahun.

Datangnya orang-orang Belanda yang menyelundup ke Surabaya hampir bersamaan waktunya dengan dibebaskannya kaum interniran Belanda dari kamp-kamp tawanan, maka suasana Surabaya mulai panas karena terjadi saling mencurigai antara fihak pemuda dengan fihak Palang Merah International.

Pemuda Surabaya baru saja melakukan serangkaian kegiatan memperingati sebulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan menyelenggarakan rapat umum di Lapangan Pasarturi pada tanggal 17 September 1945.

Pada saat itu ada provokasi baru tentang datangnya kelompok orang Sekutu yang pertama dari Mastiff Carbolic dibawah pimpinan Letnan Antonissen diterjunkan dengan parasut di Gunungsari Surabaya.

Mastiff Carbolic Party merupakan salah satu dari sejumlah kelompok yang diorganisir oleh Anglo Dutch County Section (ADCS) angkatan 136.

ADCS selama Perang Dunia II adalah organisasi spionase yang dikirim ke Sumatera, Malaya, dan Jawa secara rahasia. Setelah Jepang menyerah mereka diterjunkan antara lain di Jakarta dan Surabaya untuk menghimpun informasi tentang keadaan kamp-kamp tawanan dengan pihak RAPWI (Rehabilitation Allied Priseners of War and Internees = pemulangan tawanan perang asing dan interniran yang dibentuk oleh badan dunia pemenang perang).

Pihak Jepang setelah mendengar tentang pendaratan (dengan payung udara) itu kemudian menjemputnya dan mengawalnya ke Yamato Hoteru (Hotel Oranje). Sebelumnya di Hotel Oranje telah berkumpul pula sebagian besar orang Indo yang baru bebas dari interniran.

Maka di hotel itu seakan-akan bermarkas RAPWI yang tidak sah. Mereka melakukan gerakan berselubung.

Segera saja di jalan-jalan kota yang selama zaman Jepang sepi-nyenyat lalu-lintasnya berseliweran kendaraan dengan tulisan RAPWI, dan di sekitar hotel orang-orang Belanda bertindak kasar kepada orang-orang Indonesia yang berwajah ketakutan dan miskin itu.

Begitu sombongnya orang-orang Belanda itu hingga tanggal 19 September 1945, mereka menaikkan bendera Belanda di tiang utara gedung hotel.

Tindakan ini dianggap sudah keterlaluan, maka mulailah orang-orang Indonesia bergerak untuk menurunkan bendera Belanda tadi. Berperasaan sebagai bangsa merdeka sudah mulai terlihat pada rakyat Indonesia di Surabaya.

Menolak kembalinya penjajah Belanda. Pengibaran bendera Belanda dianggap suatu keinginan Belanda menjajah lagi Indonesia.

Dan sejak itu rakyat Surabaya tidak hanya curiga dengan orang-orang wajah Belanda, tetapi membencinya.

Semua wajah indo atau Belanda dianggapnya musuh yang mau menjajah kembali Indonesia, maka harus dimusuhi.

Warna merah-putih-biru juga sangat dimusuhi. Seseorang berpakaian kebetulan warna-warni mengandung warna merah-putih-biru (warna bendera Belanda) langsung saja dianggap sebagai mata-mata musuh.

Sebetulnya sudah sejak tanggal 2 September 1945 atas prakarsa Dul Arnowo yang pada zaman Jepang bekerja pada pemerintahan Surabaya Shi (kota) menjabat sebagai Ketua BPP (Badan Pembantu Prajurit) yang kantornya di Jl. Kaliasin 121, telah dibentuk dua organisasi yang mewakili adanya pemerintahan Republik Indonesia yang merdeka, yaitu: 1. BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang) 2. BKR (Badan Keamanan Rakyat).

Rapat pembentukan BPKKP dan BKR di Kaliasin 121 (zaman Orde Baru menjadi Kantor PDAM, zaman Reformasi aset itu lepas jadi (milik swasta) dihadiri oleh hampir semua bekas pimpinan Peta, Heiho, kaum pergerakan dan lain-lain. Di antaranya Suryo, Sutopo, Mohamad, Katamhadi, Rono Kusumo, Kunkiyat, Sungkono, Kholil Thohir, R.M.Yonosewoyo, Abdul Wahab, Usman Aji, Drg. Mustopo.

Penjelasan mengenai situasi negara yang terancam oleh bahaya, garis-garis perjuangan selanjutnya diberikan oleh Ketua KNI (KNI, Komite Nasional Indonesia = DPR) Karesidenan Surabaya, Dul Arnowo.

Kepada para bekas anggota Peta, Heiho dan lain-lain dianjurkan untuk mengadakan kontak-kontak dengan anak buahnya serta memanggilnya untuk membela Tanahair. Dalam rapat tanggal 2 September 1945 malam itu berhasil diputuskan pembentukan BPKKP dan BKR untuk daerah Karesidenan Surabaya dengan susunan pengurus sebagai berikut: 1. BPKKP. Ketua Dul Arnowo (bekas Ketua BPP), Wakil Ketua Mohamad Mangundiprodjo (bekas Daidancho Peta Buduran). 2. BKR. Ketua Drg. Mustopo (bekas Daidancho Peta Gresik), Bagian Penerangan: Katamhadi (bekas Daidancho Peta Mojokerto), Abdul Wahab (bekas Chudancho), Sutomo alias Bung Tomo (wartawan Antara),

Pada pergaulannya sebagai Ketua BPKKP dengan Wakilnya (Dul Arnowo dan Mohamad Mangundiprodjo) sama-sama menyadari bahwa untuk mempertahankan kedaulatan negera RI itu bukan saja diperlukan kekuatan bersenjata tapi juga dibutuhkan dana untuk membiayai perjuangan itu.

Negeri RI lahir tanpa modal sesen pun. Modalnya hanyalah secarik kertas teks proklamasi kemerdekaan serta semangat dan tekad rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negaranya. Modal materiil beserta segala piranti aparat pemerintah itu harus dicari sendiri oleh rakyat. BPKKP selaku aparat juga harus mencari dana itu.

Dul Arnowo dan Mohamad yang diserahi jabatan pada BPKKP harus berfikir keras berupaya mencari dana bagi perjuangan menegakkan negara.

Dalam wacana mencari dana itu, terbetik berita mengenai Dr. Samsi, seorang ekonom dan tokoh pergerakan cukup terkenal di Surabaya. Kedua ketua BPKKP berniat menghubungi tokoh Dr. Samsi itu.

Tapi pergolakan merebut kekuasaan di Surabaya harihari berikutnya menghambat pencarian dana tadi. Penyempurnaan pembentukan BKR lebih lanjut dibahas dalam pertemuan di GNI Bubutan oleh para bekas Daidancho, Chudancho, Shodancho, dan anggota-anggota Peta lainnya yang terkumpul pada tanggal 4 September 1945. Oleh karena Kota Surabaya di samping Kota Praja, Ibukota karesidenan Surabaya juga sebagai pusat dan Ibu Kota Jawa Timur, kemudian diputuskan untuk membentuk 3 eselon atau jajaran BKR, yaitu BKR Jawa Timur, BKR Karesidenan, BKR Kota Surabaya. Pemimpin-pemimpinnya pada waktu itu setelah disetujui disahkan sekali gus.

BKR Jawa Timur: Panglima Drg. Mustopo (bekas Daidancho), Kepala Staf Umum Suyatmo (adik Mustopo), Urusan Angkatan Darat: Mohamad Mangundiprodjo (bekas Daidancho) Urusan Angkatan Laut: Atmaji, Intelijen: Rustam Zein (mahasiswa Sekolah Tinggi Pamong Praja Jakarta), Pemberitaan: Suyono Prawirobismo (polisi), Keuangan-perlengkapan: Suryo (bekas Chudancho), Tugas Khusus: Abdul Wahab (bekas Chudancho) dan N.Suharyo (mahasiswa Ika Dai Gakku Jakarta).

BKR Karesidenan Surabaya: Ketua: Abdul Wahab (bekas Chudancho), Wakil Ketua R.M.Yonosewoyo (bekas Chudancho). BKR Kota Surabaya: Ketua Sungkono (bekas Chudancho), Wakil Ketua Surakhman (bekas Chudancho), Penulis Dawud (bekas Chudancho).

Selain itu juga terbentuk badan-badan perjuangan seperti Angkatan Muda Indonesia (AMI), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Buruh Indonesia (BBI), Hizbullah, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Pemuda Puteri Indonesia (PPI), dan lain-lain. Karena sifatnya perjuangan mengusir Belanda, badan-badan perjuangan itu juga angkat senjata (siap berperang). Senjatanya cari sendiri-sendiri.

Setelah peristiwa perobekan warna biru bendera Belanda di Oranje Hotel tanggal 19 September 1945 itu, rakyat Surabaya mulai bertindak, mendatangi markas-markas tentara Jepang, agar tunduk kepada pemerintah Indonesia Merdeka. Berbagai tempat mudah ditaklukkan. Namun di Markas Kaigun (Angkatan Laut) yang terletak di Gubeng Pojok, dan Markas Kenpeitai yang terletak di Regentstraat (sekarang Tugu Pahlawan) pemuda Indonesia mengalami perlawanan yang menjatuhkan banyak kurban jiwa dan luka.

Markas arsenal di Don Bosco (sekolah Don Bosco) ternyata tempat penimbunan senjata. Dengan jatuhnya Markas itu, maka Arek-arek Surabaya memiliki senjata perang.

Dan dengan bersenjata seperti itu, orang Indonesia di Surabaya tidak lagi berjalan tunduk dan takut-takut, tetapi beringas dan gegap-gempita menyanyi “Sorak-sorak bergembira, Indonesia Merdeka! Itulah hak milik kita, untuk selama-lamanya!” Kenpeitai adalah Polisi Militer Jepang.

Selama jadi Markas Kenpeitai sederet nama pejuang Indonesia seperti Pamuji, A. Rakhman, Sukayat, Cak Durasim pernah diseret ke dalamnya, disiksa dan disiksa sampai mati. Sejak pagi hari tanggal 1 Oktober 1945, Markas Kenpeitai dikepung oleh para pejuang Indonesia baik yang telah tergabung dalam organisasi perjuangan atau belum, pasukan BKR (Abdul Wahab, Hasanuddin Pasopati, N.Suharyo Kecik), Polisi Istimewa (Mohammad Yasin), pasukan PRI (Pramuji, Rambe, Sidik Arslan), dan lain-lain. Markas tentara Jepang di tempat-tempat lain di Surabaya menyerah pada malam hari menjelang tanggal 1 Oktober 1945 saat diserbu, tapi Markas Kenpeitai (dan Markas Kaigun Gubeng Pojok) baru jatuh ke tangan pemuda Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1945 sore hari setelah terjadi pertempuran yang menelan banyak korban jiwa (yang pertama kalinya merebut kemerdekaan negeri ini). T

anpa pengorbanan mereka, tidak ada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, tanpa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Negara Republik Indonesia mungkin tidak ada, atau kemerdekaan ada tidak dengan perjuangan bersenjata melainkan kemerdekaan negara hasil pemberian hadiah dari Ratu Yuliana dari Negeri Belanda.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah yang pertama kali dilakukan oleh bangsa yang terjajah terhadap bangsa yang menjajah dengan pemberontakan bersenjata, dan berhasil memperoleh kemerdekaan bangsa.

Setelah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, maka pola-pola bangsa terjajah di Asia dan di Afrika juga merebut kemerdekaannya mengikuti pola bangsa Indonesia, merebut kemerdekaan dengan perjuangan bersenjata melawan penjajahnya.

Setelah di Bom Inggris

Salah seorang pemuda yang tertembak pahanya sehingga tidak bisa melaksanakan tugas perjuangannya lagi adalah Abdul Wahab.

Abdul Wahab menurut pertemuan para pemuda bekas Peta 23 September 1945 di Julianalaan diputuskan sebagai pimpinan Pasukan Khusus yang melaksanakan gerakan penyerbuan markas-markas tentara Jepang di Surabaya, dan sudah terlaksana pada malam 30 September menjelang 1 Oktober 1945.

Tanggal 1 Oktober semua markas pasukan Jepang di Surabaya beres, terkecuali Markas Kenpeitai dan Markas Kaigun di Gubeng Pojok, yang baru selesai pada tanggal 2 Oktober 1945. Abdul Wahab (mantan Chudancho PETA), pada jajaran BKR (Badan Keamanan Rakyat, embrio TNI) sebagai Ketua BKR Karesidenan Surabaya. BKR Karisidenan Surabaya terbentuknya di Gedung HBS (kompleks SMAN Wijayakusuma sekarang), diprakarsai oleh N. Suharyo Kecik.

Semula setelah pasukan Jepang yang ada di Gedung HBS itu disingkirkan oleh orang Surabaya, tempat itu digunakan oleh pasukan bekas Heiho Laut (orang Indonesia yang dijadikan tentara Jepang) dari Sulawesi Selatan yang mau pulang ke tempat-tempat asalnya (Jawa dan Sumatera). Jumlahnya 250 orang, dibawah pimpinan Abel Pasaribu dan Anwar Batubara. Mereka berlayar 3 hari 3 malam, sampai di Tanjung Perak, pertengahan September 1945, lalu ditampung di Gedung HBS tadi.

Oleh seorang mahasiswa Kedokteran Gigi dari Jakarta, N. Suharyo Kecik, mereka digerakkan membentuk BKR.

Karena semua bukan orang Surabaya, sedang pembentukan BKR-BKR waktu itu juga terjadi di Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Gresik menjadi BKR Karesidenan Surabaya, maka BKR di Gedung HBS itu diikutkan menjadi BKR Karesidenan Surabaya. Menurut BKR-BKR yang telah terbentuk, yang menjadi ketua BKR Karesidenan Surabaya adalah Abdul Wahab (bekas Chudancho PETA).

Wakilnya R.M.Yonosewoyo (bekas Chudancho PETA). Markasnya di Gedung GNI (Bubutan) Surabaya.

Dengan tertembaknya Abdul Wahab, maka yang menjadi ketua BKR Karesidenan Surabaya adalah R.M.Yonosewoyo. Tanggal 5 Oktober setelah didudukinya Markas Kenpeitai, diumumkan bahwa jajaran BKR seluruh Indonesia menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat).

Atas persetujuan pimpinan BKR Jawa Timur (Drg. Mustopo), BKR Karesidenan Surabaya (R.M.Yonosewoyo), dan BKR Kota Surabaya (Sungkono), Hasanuddin dan N. Suharyo membentuk Polisi Militer.

Setelah peresmian berdirinya TKR (5 Oktober 1945), kelompok bersenjata tersebut bernama PTKR, Polisi Tentara Keamanan Rakyat. Markasnya di bekas markas Kenpeitai (polisi militer Jepang), yang telah direbutnya.

Sesuai dengan hasil perundingan antara fihak Jepang dan Indonesia, pasukan yang menduduki bagian kanan gedung Kenpeitai berada di bawah pimpinan Hasanudin Pasopati dan N. Suharyo.

Gedung bagian sayap kiri masih terdapat sekitar satu kompi serdadu Jepang yang bersenjata.

Atas perintah Jendral Iwabe, (komandan angkatan darat Jepang di Jawa Timur yang telah melakukan serah-terima kekuasaan dengan Ketua BKR Jawa Timur Drg. Mustopo) tiga hari kemudian pasukan Jepang itu dipindahkan ke tempat penampungan tahanan di Kompleks Pasar Malam tahunan (Jaarmark, sekarang jadi Plaza Hitech-mall THR). Hasanuddin adalah Arek Surabaya, keturunan Madura, bekas Chudancho Peta, pada zaman Hindia Belanda bekerja sebagai guru lulusan HIK. Di PTKR pangkat Hasanuddin Letnan Jendral. Setelah ada peninjauan menjadi Letnan Kolonel. Masalah yang dihadapi PTKR cukup rumit.

Tapi cukup mendapat kepercayaan dari masyarakat. Apalagi masalah orang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Banyak yang diserahkan urusannya kepada PTKR.

Karena emosi rakyat yang begitu meluap terhadap perjuangan merebut kemerdekaan, seringkali terjadi penangkapan matamata karena kecurigaan semata-mata. Ada seorang guru SMP bernama Iskak bersama-sama Iswahyudi (yang bertamu di rumah Iskak) ditawan oleh pemuda, karena istri Iskak seorang Belanda. Kebetulan Suharyo kenal baik dengan kedua orang tersebut. Iswahyudi pada zaman Hindia Belanda mendaftarkan diri pada pendidikan penerbang. Ia ikut tentara Belanda ke Australia dan berlatih terbang di sana. Oleh Sekutu, zaman perang, Iswahyudi diselundupkan ke Indonesia melalui pantai Blitar Selatan. Ia tertangkap oleh Jepang. Guru Iskak adalah ayah Indriyati Iskak, yang kemudian putri ini menjadi bintang film Tiga Dara yang kondang tahun-tahun 1960-an, besutan Usmar Ismail. Oleh pimpinan PTKR diputuskan membebaskan Iskak dan Iswahyudi. Keduanya diberi seragam dan dianjurkan untuk tetap tinggal di markas. Mereka diberi tugas memasang lampu dan sistem bel untuk hubungan dalam markas dan monitoring siaran radio luar negeri berbahasa Inggris. Iswahyudi kemudian menjadi pilot pahlawan yang namanya dilestarikan menjadi nama lapangan terbang di Maospati, Madiun.

Seorang bekas Chudancho bernama Suryo, putra Suwongso seorang pegawai menengah di Kantor Residen Surabaya pada zaman Belanda, telah ditangkap oleh para pemuda diserahkan kepada PTKR. Suryo pada waktu kecil panggilannya Yanto. Pada zaman Belanda pernah menjadi pandu atau padvinder (Nederland Indiesche Padvinders Vereniging). Pada waktu itu bangsa Indonesia juga telah memiliki organisasi kepanduan sendiri seperti KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia), Suryawirawan (Parindra), HW (Hizbulwathon), dan lain-lain. Sebagai anak orang terpandang Suryo tidak ikut kepanduan bangsa sendiri, melainkan bangsa Belanda. Dan ia pernah dipilih ikut jambore di Negeri Belanda. Di sana ia bersalaman dengan Ratu Wilhelmina, dan foto kenangannya disimpannya. Itulah antara lain mengapa ia ditawan oleh para pemuda. Oleh pimpinan PTKR kemudian Suryo dibebaskan, karena dianggap tidak berdasar untuk menahan Suryo. Pagi Suryo bebas, sore hari ia ditangkap lagi oleh para pemuda yang bermarkas di gedung Borsumij (Sociëteitstraat, sekarang Jalan Veteran Surabaya).Mendengar hal itu Suharyo memerintahkan untuk membebaskan Suryo.

Suryo ternyata bekas Chudancho Peta, pada jajaran BKR Jawa Timur (pimpinan Mustopo) dia pegang jabatan keuangan-perlengkapan. Setelah bebas Suryo masih dapat berjasa dengan mengantarkan Suharyo ke gudang senjata di bekas Daidannya di Gunungsari. Yang menjaga gudang senjata adalah bekas anak buah Suryo, prajurit Peta. Dari tempat itu PTKR memperoleh sepuluh metraliur berat kaliber 12,7 dan metraliur Kal 7,7/303 L.E.

Dua hari kemudian Suryo bebas, ditangkap lagi oleh Sabarudin (bekas Shodancho) bekas anak buah Suryo sendiri. Sabarudin saat itu adalah komandan PTKR daerah Karesidenan Surabaya, di bawah TKR Karesidenan Surabaya pimpinan R.M.Yonosewoyo (pengganti Abdul Wahab yang tidak bisa melakukan kewajibannya karena tertembak saat merebut Markas Kenpeitai 1-2 Oktober 1945). Ditangkap oleh Sabarudin, Suryo langsung dibawa ke Sidoarjo. Bagi Sabarudin, inilah kesempatan yang baik untuk melampiaskan dendam lamanya. Tanpa melalui proses pemeriksaan secara hukum, Suryo kemudian dihukum mati dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda. Gambar-gambar Suryo ketika bersalaman dengan Ratu Wilhelmina dijadikan buktinya.

Eksekusi Suryo dilakukan secara terbuka di tengah alun-alun Sidoarjo, sehingga kemudian hari banyak penduduk Sidoarjo bisa menceritakan jalannya eksekusi. Sabarudin sendiri yang langsung menangani pelaksanaan eksekusi, ia menembak Suryo dengan pistol sedang dua orang pembantunya kemudian menebas kepala dari pundak Suryo dengan pedang samurai. Versi lain menyebutkan bahwa Sabarudin sendiri yang memenggal kepala Suryo dengan pedang samurai. Berita pembunuhan tersebut datangnya terlambat pada markas PTKR, tak tertolong lagi oleh pimpinan PTKR di Surabaya.

Atas perbuatan Sabarudin yang sewenang-wenang itu, ternyata tidak ada pihak yang berani menegur, mencegah dan menghukumnya. Kasus Suryo dibiarkan berlalu tanpa ada pembelaan secara hukum. Hasanuddin Pasopati yang mengangkat diri menjadi komandan PTKR se Jawa, jadi teoritis menjadi atasan Sabarudin tidak berani menegur, apalagi menindaknya. Juga R.M.Yonosewoyo, Komandan TKR Karesidenan, atasan Sabarudin, serta Drg. Mustopo, komandan TKR Jawa Timur pun tak bereaksi.

Waktu itu bila orang mendengar nama Sabarudin saja rasanya sudah ngeri. Dul Arnowo, ketua KNI (Komite Nasional Indonesia = DPR) Kresidenan Surabaya, melukiskan wajah Sabarudin sebagai amat menakutkan, terlebih-lebih bila ia sedang marah dan memelototkan matanya benar-benar tampak bengis. Hampir tidak ada orang yang ditakuti Sabarudin, bahkan pada Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo iapun tidak takut. Dengan enak saja ia bisa keluar masuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogya. Satu-satunya orang yang disegani Sabarudin hanyalah ex Chudancho H. Abdul Wahab, atasan Sabarudin di PETA dan Ketua BKR Karesidenan Surabaya (kena tembak ketika merebut kekuasaan di Markas Kenpeitai 1-2 Oktober 1945). Menurut Wiwiek Hidayat (wartawan Antara), sebelum menjadi PTKR, Sabarudin tingkah lakunya sopan, bahkan pemalu. Tetapi setelah mendapatkan kekuasaan sebagai komandan PTKR Karesidenan Surabaya, tingkah lakunya berubah menjadi ganas.

Motif sebenarnya tindakan Sabarudin terhadap Suryo itu adalah perkara sentimen pribadi. Sabarudin yang berpendidikan MULO (setarap SLTP) mengawali kariernya di zaman Belanda sebagai jurutulis di kantor kabupaten Sidoarjo. Di kantor itulah Sabarudin berkenalan dengan pemuda Suryo, atasannya, yang menjabat sebagai komis. Nasib telah membawa keduanya bersaing memperebutkan cinta seorang gadis cantik, puteri Bupati Sidoarjo. Cinta Sabarudin tak terbalas, karena puteri tadi rupanya lebih berat memilih pemuda Suryo yang berpendidikan Sekolah Pamongpraja OSVIA, sebagai pacarnya. Sejak itulah hubungan kedua pemuda tadi menjadi dingin.

Begitulah suasana awal-awal perebutan kekuasaan untuk Indonesia Merdeka di Surabaya khususnya, Jawa Timur umumnya. Nama Sabarudin mulai melejit. Suryo, pada jajaran TKR Jawa Timur menjabat sebagai urusan keuangan dan perlengkapan. Dengan terbunuhnya Suryo, maka urusan keuangan dan perlengkapan kosong. Pada jajaran TKR Jawa Timur ada Mohamad Mangundiprodjo yang diserahi urusan angkatan darat.

Maka mengenai keuangan dan perlengkapan, Mohamad Mangundiprojo menceritakan mengenai Dr. Samsi kepada Panglimanya, Drg. Mustopo. Dr. Samsi Sastrawidagda (1894-1963) berpendidikan Sekolah Dagang Tinggi (Handels Hooge School) Rotterdam dan meraih gelar Doktornya tahun 1925 dengan desertasi “De Ontwikkeling v.d. handels politik van Japan”.

Bersama Ir. Soekarno ia aktif dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung sejak tahun 1927 dan aktif pula dalam Perhimpunan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Di masa pendudukan Jepang ia termasuk dalam kelompok pergerakan yang memilih jalan kooperatif dengan penguasa Jepang, ia duduk dalam Majelis Pertimbangan “Poesat Tenaga Rakjat” (Poetera) yang didirikan oleh Soekarno-Hatta tahun 1941 dan menjadi anggota Tyuuoo Sangi In (semacam Dewan Penasehat Pemerintah) pimpinan Soekarno-Hatta. Seperti halnya Soekarno-Hatta dan Soebardjo, Dr. Samsi juga mempunyai hubungan erat dengan kelompok perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pimpinan Laksamana Maeda yang dikenal bersimpati dengan kemerdekaan Indonesia dan di Surabaya ia akrab dengan Laksamana Shibata Yaichiro. Di masa akhir pendudukan Jepang ia menjadi Kepala Kantor Tatausaha dan Pajak di Surabaya. Sebagai anggota Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ia hadir menyaksikan perumusan dan ditandatanginya naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dr. Samsi lah pemimpin Surabaya yang pertama kali menemui Laksamana Shibata membicarakan masalah yang dihadapi Indonesia merdeka (buku Shibata Yaichiro “Surabaya After the Surrender” 1986). Sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet RI pertama (kemudian digantikan oleh Mr. Maramis), Dr. Samsi mempunyai peranan besar dalam usaha mencari dana guna membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan RI.

Ia memperoleh informasi bahwa di gedung Bank Escompto Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. Karena hubungannya yang dekat dengan para pemimpin pemerintahan Jepang di Surabaya ia berhasil membujuk mereka, perlunya uang tersebut diserahkan pada pemerintah RI. Suatu rekayasa kemudian disepakati, agar BKR mengambil dana tersebut dengan cara “kekerasan”. Mohamad Mangundiprodjo sebagai “bendahara” BKR, ditugaskan oleh Mustopo untuk “menggedor” bank tersebut.

Operasi “penggedoran” berjalan lancar berpeti-peti uang gulden dalam waktu singkat berhasil dipindahkan dari Bank itu ke Markas BKR gedung HVA (sekarang gedung PTP Jalan Merak). Menjelang pendaratan tentara Inggris di Surabaya, Mohamad memindahkan uang tersebut ke luar kota, dititipkan pada seorang haji di Porong, Sidoarjo, kenalan baik Mohamad. Baik Pak Haji maupun sopir dan pengawal Mohamad, mereka tak mengetahui bahwa di dalam peti-peti tersebut tersimpan uang jutaan gulden. Operasi “penggedoran” tersebut semula dirahasiakan, hanya diketahui oleh Dr. Samsi, Mustopo, Mohamad dan Syamsul Arifin wartawan Antara di Surabaya. Di kemudian hari Mohamad dan Mustopo baru mengungkapkan, bahwa uang hasil “penggedoran” itu berjumlah Rp 100.000.000,00. Dari jumlah tersebut yang Rp 35.000.000,00 disumbangkan pada pemerintah pusat RI, sedangkan selebihnya dijadikan dana perjuangan melalui organisasi Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia (DPRI) di Surabaya.

Syamsul Arifin menilai kejujuran ketiga pemimpin itu tak diragukan, kalau mereka mau, mereka akan bisa menjadi jutawan pertama di Indonesia, tetapi nyatanya hal itu tak terjadi. Kedudukan Mohamad sebagai bendaharawan BKR yang dipercaya memegang dana sebesar itu mempunyai dampak tidak kecil dalam perjalanan hidup Mohamad selanjutnya. Dampak positifnya, karena posisi itu Mohamad mempunyai pengaruh besar di kalangan organisasi bersenjata di Surabaya. Sebab melalui dialah, tiap pasukan di Surabaya bisa memperoleh bantuan keuangan. Juga adanya dapur umum yang tersebar di masa darurat, sebagian juga memperoleh dana dari uang rampasan tadi. Posisinya itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Mohamad kemudian dipilih menjadi ketua Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia (DPRI).

Mengalami kejadian penerjunan mata-mata Mastiff Carbolic (Belanda) yang mendompleng RAPWI, peristiwa pengibaran bendera Belanda di Oranje Hotel, percobaan perwira Belanda P.J.G, Huiyer merebut kekuasaan pasukan Jepang di Surabaya, yang semua cenderung usaha Belanda kembali menjajah Indonesia mendompleng pasukan Inggris, maka pendaratan pasukan Inggris pada 25 Oktober 1945 di pelabuhan Surabaya yang bermaksud untuk menjemput para tawanan baik orang asing yang ditawan Jepang maupun orang Jepang yang sudah tidak beerkuasa lagi di Indonesia, tidak disambut dengan baik oleh orang-orang Surabaya. Pasti didomplengi orang-orang Belanda.

Maka, pada tanggal 24 Oktober 1945, sebelum pasukan Inggris mendarat di Surabaya, Komandan TKR Jawa Timur, Drg. Mustopo mau mengadakan pidato radio di RRI Surabaya menolak kedatangan pasukan Inggris itu. Sebelum pidato di radio, sejak siang harinya (tanggal 24 Oktober) Drg Mustopo mengendarai mobil terbuka berkeliling kota berkoar-koar: “Nica! Nica! Jangan mendarat! Kamu tahu aturan! Kamu tahu aturan, Inggris! Kamu sekolah tinggi! Kamu tahu aturan, jangan mendarat!” Koar-koar tadi tidak hanya diteriakkan pada siang hari ketika berkeliling kota, melainkan juga isi pidato radionya pada malam harinya di RRI Surabaya.

Pidato yang disebutkan penting tidak ditujukan kepada masyarakat Surabaya, melainkan langsung kepada pihak Sekutu (pasukan Inggris Brigade 49 dibawah Komando Brigadir AWS Mallaby).

Sejak waktu itu badan-badan perjuangan dan masyarakat Surabaya telah bersiap-siap akan menolak pendaratan pasukan Mallaby tadi. “Siaaap! Siaaap!” teriak Arek-arek Surabaya sepanjang hari. Kemudian hari, teriak-teriak Siaap! pemuda Surabaya itu menjadi periode sejarah, “Zaman Siap!”.