Rifofo & Gandhi Shiro Rilis Single ‘KAPINDHO’
Belum setahun dari saat duo Produser Rifo Octavian a.k.a Rifofo dan Gandhi Prasetya a.k.a Gandhi Shiro merilis single kelima mereka tentang kencan pertama, single keenam mereka yang diberi judul ‘KAPHINDO’ bercerita tentang kesempatan kedua. Seolah-olah waktu berjalan begitu cepat sehingga sedari kencan pertama ternyata telah banyak hal yang terjadi; sedih, kecewa, bimbang sementara mempertahankan komitmen dalam hubungan adalah kesakralan. Demikian pasangan yang diceritakan dalam ‘KAPINDHO’ kemudian mendapatkan kesempatan kedua (kapindho) dengan mereka mengharapkan tidak ada lagi hati yang terluka, bahkan berharap merasakan kembali indahnya kencan pertama.
‘KAPINDHO’ dinyanyikan oleh Nawang Prameswari—yang dipilih oleh Rifofo & Gandhi karena warna vokalnya yang unik dan dipandang sesuai untuk membawakan lirik ‘KAPINDHO’ yang ditulis dengan 2 bahasa yaitu Jawa dan Indonesia. Nawang sendiri adalah sinden asal Kebumen yang sedari kecil menyanyikan lagu-lagu tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, sehingga tidak kesulitan untuk menyanyikan ‘KAPINDHO’. Rifofo & Gandhi berpendapat bahwa vokal Nawang dapat membuat pendengar ‘berhalusinasi’—bak berhalusinasi mengharapkan kesempatan kedua saat merasa banyak kesalahan bahkan yang fatal dalam hubungan sebelumnya.
Nawang juga berperan dalam music video ‘KAPINDHO’ yang menggambarkan dirinya tengah mengalami ‘perang batin’ karena perasaannya terluka akibat perbuatan pasangannya; sementara kepercayaannya pada pasangannya runtuh, namun buah dari ikatan janji mereka harus -mutlak- dijaga.
Setting urban melatar belakangi cerita music video ‘KAPHINDO’; realitas dalam setting urban yaitu keragaman dituangkan oleh Rifofo & Gandhi sebagaimana ciri khas mereka dalam memproduksi single yaitu -konsisten- memadukan unsur tradisional, kali ini dengan musik akustik. Kiranya realitas keragaman tersebut pulalah yang membuat perihal hubungan seakan misterius; dari mana kita berasal, siapa yang akan kita temui, apa yang akan terjadi dan bila yang terjadi tidak sesuai yang diharapkan bahkan melukai, akankah ada kesempatan kedua—atau mungkin kesempatan kedua adalah hal yang harus diperjuangkan untuk diciptakan.
Apakah kesempatan kedua dalam hubungan berarti berhubungan kembali dengan orang yang sama—dengan segala memori yang tidak nyaman di masa lalu? Atau sebenarnya kesempatan kedua itu adalah kesempatan bagi kita sendiri secara individu untuk memaafkan diri, kemudian menata dan membuka diri kembali kepada kehidupan?